Senin, 26 Maret 2012

Tertinggal Satu Nama by Depp Holmes

Sinar mataharai tak mampu tuk menembus tirai awan mendung. Di langit bagian barat matahari hanya mampu membuat rona kemerahan. Kilatan-kilatan menyilaukan sesekali membelah angkasa, menggemakan suara yang menunjukan keperkasaanya. Ujung-ujung kilatan seolah melembek seperti kerupuk yang melempem, saat gerimis mulai turun. Aroma menyejukan mulai tercium saat tetesan tetesan air mulai membasahi tanah. Kemudian meresap kedalam memberi penghidupan pada setiap pohon yang tertanam di bumi. Tak semua air bisa dengan mudah meresap ke dalam tanah, mereka tertahan terlebih dahulu oleh rindangnya pepohonan halaman SMA ku.

Kodok-kodok nampak kedinginan tumpang tindih jantan dan betina menciptakan romansa diantara mereka. Sesekali sang jantan bernyanyi untuk menarik perhatian para betina. Saat sang betina mulai mendekatinya. Jantan itu terlihat bangga dapat menaklukan seekor betina. Bukan hanya kodok yang nampak kedinginan. Diantara ranting pepohonan burung-burung emprit saling berdekatan menciptakan kehangatan diantara mereka.

Setiap lorong sekolah, aku perhatikan sangat sepi. Hanya beberapa penjaga sekolah sedang asik menikmati kopi sambil meraup cerutu mereka.

Angin menghembus masuk ke setiap ruang kelas. Tak luput angin itu menyapaku yang sedang termenung di salah satu bangku lorong sekolah. Dingin kurasakan menembus ke dada semakin membekukan hati ini. Ingin rasanya seperti kodok dan burung emprit itu, memadu kasih menciptakan kehangatan.

Dalam hati ini masih bertanya.

"Mengapa kau tega Arta. Saat aku kedinginan disini, kau sedang bercanda mesra dengan lelaki lain. Mungkin di pikiranmu kau masih punya harga, hingga kau berani bertaruh dengan hati lain."

Dalam termenungan setiap senja sepulang sekolah. Selalu tergambar di pikiranku wanita yang telah menciptakan luka hati ini. Arta membuatku penuh dengan rasa tak berdaya, jenuh tuk mengelana sisa kehidupanku. Entah sampai kapan akan terus berlangsung seperti ini.

Pelajaran setiap guru hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri sebelum sempat direkam oleh otak. Bahkan lebih parah ilmu itu belum sempat masuk ke telinga kanan sudah terlebih dahulu terpantul keluar.

" Ya Allah , tegar kan lah hati hambamu ini."

***

Musim hujan belum juga berlalu. Udara kesejukan selalu dirasakan orang setiap harinya. Nyamuk asik berkembang biak. Musim penghujan memberikan mereka kenyamanan untuk memperbanyak jenisnya. Matahari hanya sesekali menampakan diri untuk menyapa semua makhluk hidup. Hanya sekedar menghangatkan bumi kemudian menghilang tertutup tirai mendung.

Siang hari sekarang tak terasa panas. Hujan lebih sering menghiasi langit. Terkadang hujan itu ditangkap oleh cahaya samar-samar matahari. Kemudian dibiaskanya menjadi tujuh warna yang indah. Membentuk lukisan pelangi hasil karya dari-Nya.

Bangku sekolahku semakin sepi, karena sebagian siswanya sudah pulang, walaupun keadaan saat itu sedang hujan. Ada yang masih duduk-duduk di depan kelas menunggu hujan reda. Aku masih di dalam kelas termenung mencoba mengurai setiap permesalahan yang ada di hati ini.

"Hei , Sahdan !"

Suara wanita terdengar di telingaku lirih. Karena tersamarkan oleh suara hujan. Sehingga aku tak mendengarnya. Duniaku masih berada dalam termenungan itu.

"Sahdan, nglamun aja !" bentak wanita itu membangunkan kesadaranku.

Kini Fia sudah berada di sampingku.

"Sudah , yang lalu biarlah berlalu. Ngapain masih dipikirkan lagi ?"
"Apa lhoo , udah sana pergi ganggu aj kamu!"
"Ngusir critanya ?"
"Iya."
"Aku ada cerita buat kamu Dan."
"Aku gak tertarik."
"Ada yang suka kamu."

Fia terus saja berbicara menggangguku. Seperti kereta berjalan terus tak ada hentinya, walaupun terlihat olehnya diriku tak bersemangat. Tapi perkataanya yang terakhir itu membuatku tertarik seperti magnet yang akan tertempel di besi.

Ku jawab perkataanya tapi dengan nada sangat acuh.

"Siapa ? Paling paling cuma bohong."
"Eh tak percaya, aku beneran Sahdan. Buat apa harus berbohong ?"
"Terus siapa ?" tanyaku kembali.
"Aisah , udah lama dia naksir kamu. Tapi ia tau jika kamu punya Arta. Jadi Aisah tak berani tuk mengenalmu lebih jauh."
"Hemmm." mendengar penjelasan Fia aku hanya bisa menggumam.
"Terus." kataku.
"Saat dia tahu bahwa kamu udah tidak sama Arta, Aisah mencoba mengenalmu lebih dekat. Ini nomer teleponya catatya."

Terang Fia kepadaku dengan sangat jelas. Kemudian ia menulis sebuah nomer telepon pada bukuku. Fia pamit pulang, karena di luar hujan mulai berhenti. Hujan semakin nyata meninggalkan kesejukan yang coba menentramkan hati.

***

Sekian lama hati ini selalu merasakan sakit oleh penghianatan cinta. Cinta telah membuatku mengenal tentang rasa payah. Sekarang tak kan ada lagi pertanyaan siapa yang benar dan siapa yang salah. Tetapi yang aku pikirkan dan ingin aku tanyakan lagi. Apakah aku akan jatuh dalam lubang yang sama lagi ? Tentu tidak. Aisah tak sama dengan Arta.

Fia membuka jalan hatiku kepada Aisah. Aku perkenalkan kepadanya namaku Sahdan. Semenjak saat itu Aisah selalu menghiasi hari- hariku. Dahulu saat hati ini merasa sedih dihianati oleh seorang wanita, hati ku ini serasa dihujani paku berpuluh puluh kilogram, tanpa ada seseorang yang mau membantu aku untuk mencabut paku itu. Tapi Aisah ? Aisah telah memberiku gambaran tentang arti seorang wanita yang sesungguhnya, gambaran yang selama ini aku dapatkan adalah semua wanita di dunia ini sama seperti Arta. Tetapi di dalam diri Aisah aku menemukan sosok lain. Sosok wanita yang memiliki pribadi sungguh mengagumkan. Awalnya aku ragu apakah dia benar-benar mencintaiku seperti yang diberitahu Fia kepadaku ? Setelah aku mengenalnya lebih dalam, aku yakin di dalam hati Aisah ada satu ruangan khusus yang sengaja dibuatnya hanya untuku. Ruang itu hanya ada saat manusia sedang merasakan apa itu jatuh cinta ? Ruangan dimana hanya ada satu orang raja yang mampu bertahta di dalamnya.

Ketika matahari akan menghanyutkan dirinya di balik cakrawala. Saat itu matahri tertutupi oleh mendung yang menggantung. Gerimis perlahan-lahan mengujani bumi ini. Sayup-sayup bunyi dentingannya terdengar di atas genting sekolah, seolah seperti sabda dari-Nya. Di sudut sekolah aku utarakan isi hatiku kepada Asiah. Dimana di dalam diri Aisah aku menemukan arti seorang wanita yang sesungguhnya. Biarlah gerimis ini yang menjadi saksi.

"Aisah taukah kau ? Aku sedang merasakan jatuh hati kepadamu."

Badan Aisah melemah jatuh ke tangan Sahdan dan seraya menengadah dengan pandangan penyerahan, keluar dalam mulutnya bisik lesu hampir-hampir tiada kedengaran, "Lama benar kau menyuruh saya menanti katamu ...."

Tak dapat lagi Aisah meneruskan ucapanya sebab Sahdan menunduk menatap mata Aisah dan membisukan mulutnya. Dalam curahan cinta Sahdan, kini tinggalah satu nama di dalam hatinya, yakni Aisah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar