Sinar mataharai tak mampu tuk menembus tirai awan mendung. Di langit
bagian barat matahari hanya mampu membuat rona kemerahan.
Kilatan-kilatan menyilaukan sesekali membelah angkasa, menggemakan suara
yang menunjukan keperkasaanya. Ujung-ujung kilatan seolah melembek
seperti kerupuk yang melempem, saat gerimis mulai turun. Aroma
menyejukan mulai tercium saat tetesan tetesan air mulai membasahi tanah.
Kemudian meresap kedalam memberi penghidupan pada setiap pohon yang
tertanam di bumi. Tak semua air bisa dengan mudah meresap ke dalam
tanah, mereka tertahan terlebih dahulu oleh rindangnya pepohonan halaman
SMA ku.
Kodok-kodok nampak kedinginan tumpang tindih
jantan dan betina menciptakan romansa diantara mereka. Sesekali sang
jantan bernyanyi untuk menarik perhatian para betina. Saat sang betina
mulai mendekatinya. Jantan itu terlihat bangga dapat menaklukan seekor
betina. Bukan hanya kodok yang nampak kedinginan. Diantara ranting
pepohonan burung-burung emprit saling berdekatan menciptakan kehangatan
diantara mereka.
Setiap lorong sekolah, aku perhatikan
sangat sepi. Hanya beberapa penjaga sekolah sedang asik menikmati kopi
sambil meraup cerutu mereka.
Angin menghembus masuk ke
setiap ruang kelas. Tak luput angin itu menyapaku yang sedang termenung
di salah satu bangku lorong sekolah. Dingin kurasakan menembus ke dada
semakin membekukan hati ini. Ingin rasanya seperti kodok dan burung
emprit itu, memadu kasih menciptakan kehangatan.
Dalam hati ini masih bertanya.
"Mengapa
kau tega Arta. Saat aku kedinginan disini, kau sedang bercanda mesra
dengan lelaki lain. Mungkin di pikiranmu kau masih punya harga, hingga
kau berani bertaruh dengan hati lain."
Dalam termenungan
setiap senja sepulang sekolah. Selalu tergambar di pikiranku wanita yang
telah menciptakan luka hati ini. Arta membuatku penuh dengan rasa tak
berdaya, jenuh tuk mengelana sisa kehidupanku. Entah sampai kapan akan
terus berlangsung seperti ini.
Pelajaran setiap guru hanya
masuk telinga kanan keluar telinga kiri sebelum sempat direkam oleh
otak. Bahkan lebih parah ilmu itu belum sempat masuk ke telinga kanan
sudah terlebih dahulu terpantul keluar.
" Ya Allah , tegar kan lah hati hambamu ini."
***
Musim
hujan belum juga berlalu. Udara kesejukan selalu dirasakan orang setiap
harinya. Nyamuk asik berkembang biak. Musim penghujan memberikan mereka
kenyamanan untuk memperbanyak jenisnya. Matahari hanya sesekali
menampakan diri untuk menyapa semua makhluk hidup. Hanya sekedar
menghangatkan bumi kemudian menghilang tertutup tirai mendung.
Siang
hari sekarang tak terasa panas. Hujan lebih sering menghiasi langit.
Terkadang hujan itu ditangkap oleh cahaya samar-samar matahari. Kemudian
dibiaskanya menjadi tujuh warna yang indah. Membentuk lukisan pelangi
hasil karya dari-Nya.
Bangku sekolahku semakin sepi,
karena sebagian siswanya sudah pulang, walaupun keadaan saat itu sedang
hujan. Ada yang masih duduk-duduk di depan kelas menunggu hujan reda.
Aku masih di dalam kelas termenung mencoba mengurai setiap permesalahan
yang ada di hati ini.
"Hei , Sahdan !"
Suara
wanita terdengar di telingaku lirih. Karena tersamarkan oleh suara
hujan. Sehingga aku tak mendengarnya. Duniaku masih berada dalam
termenungan itu.
"Sahdan, nglamun aja !" bentak wanita itu membangunkan kesadaranku.
Kini Fia sudah berada di sampingku.
"Sudah , yang lalu biarlah berlalu. Ngapain masih dipikirkan lagi ?"
"Apa lhoo , udah sana pergi ganggu aj kamu!"
"Ngusir critanya ?"
"Iya."
"Aku ada cerita buat kamu Dan."
"Aku gak tertarik."
"Ada yang suka kamu."
Fia
terus saja berbicara menggangguku. Seperti kereta berjalan terus tak
ada hentinya, walaupun terlihat olehnya diriku tak bersemangat. Tapi
perkataanya yang terakhir itu membuatku tertarik seperti magnet yang
akan tertempel di besi.
Ku jawab perkataanya tapi dengan nada sangat acuh.
"Siapa ? Paling paling cuma bohong."
"Eh tak percaya, aku beneran Sahdan. Buat apa harus berbohong ?"
"Terus siapa ?" tanyaku kembali.
"Aisah , udah lama dia naksir kamu. Tapi ia tau jika kamu punya Arta. Jadi Aisah tak berani tuk mengenalmu lebih jauh."
"Hemmm." mendengar penjelasan Fia aku hanya bisa menggumam.
"Terus." kataku.
"Saat dia tahu bahwa kamu udah tidak sama Arta, Aisah mencoba mengenalmu lebih dekat. Ini nomer teleponya catatya."
Terang
Fia kepadaku dengan sangat jelas. Kemudian ia menulis sebuah nomer
telepon pada bukuku. Fia pamit pulang, karena di luar hujan mulai
berhenti. Hujan semakin nyata meninggalkan kesejukan yang coba
menentramkan hati.
***
Sekian lama hati ini
selalu merasakan sakit oleh penghianatan cinta. Cinta telah membuatku
mengenal tentang rasa payah. Sekarang tak kan ada lagi pertanyaan siapa
yang benar dan siapa yang salah. Tetapi yang aku pikirkan dan ingin aku
tanyakan lagi. Apakah aku akan jatuh dalam lubang yang sama lagi ? Tentu
tidak. Aisah tak sama dengan Arta.
Fia membuka jalan
hatiku kepada Aisah. Aku perkenalkan kepadanya namaku Sahdan. Semenjak
saat itu Aisah selalu menghiasi hari- hariku. Dahulu saat hati ini
merasa sedih dihianati oleh seorang wanita, hati ku ini serasa dihujani
paku berpuluh puluh kilogram, tanpa ada seseorang yang mau membantu aku
untuk mencabut paku itu. Tapi Aisah ? Aisah telah memberiku gambaran
tentang arti seorang wanita yang sesungguhnya, gambaran yang selama ini
aku dapatkan adalah semua wanita di dunia ini sama seperti Arta. Tetapi
di dalam diri Aisah aku menemukan sosok lain. Sosok wanita yang memiliki
pribadi sungguh mengagumkan. Awalnya aku ragu apakah dia benar-benar
mencintaiku seperti yang diberitahu Fia kepadaku ? Setelah aku
mengenalnya lebih dalam, aku yakin di dalam hati Aisah ada satu ruangan
khusus yang sengaja dibuatnya hanya untuku. Ruang itu hanya ada saat
manusia sedang merasakan apa itu jatuh cinta ? Ruangan dimana hanya ada
satu orang raja yang mampu bertahta di dalamnya.
Ketika
matahari akan menghanyutkan dirinya di balik cakrawala. Saat itu matahri
tertutupi oleh mendung yang menggantung. Gerimis perlahan-lahan
mengujani bumi ini. Sayup-sayup bunyi dentingannya terdengar di atas
genting sekolah, seolah seperti sabda dari-Nya. Di sudut sekolah aku
utarakan isi hatiku kepada Asiah. Dimana di dalam diri Aisah aku
menemukan arti seorang wanita yang sesungguhnya. Biarlah gerimis ini
yang menjadi saksi.
"Aisah taukah kau ? Aku sedang merasakan jatuh hati kepadamu."
Badan
Aisah melemah jatuh ke tangan Sahdan dan seraya menengadah dengan
pandangan penyerahan, keluar dalam mulutnya bisik lesu hampir-hampir
tiada kedengaran, "Lama benar kau menyuruh saya menanti katamu ...."
Tak
dapat lagi Aisah meneruskan ucapanya sebab Sahdan menunduk menatap
mata Aisah dan membisukan mulutnya. Dalam curahan cinta Sahdan, kini
tinggalah satu nama di dalam hatinya, yakni Aisah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar